Senin, 10 Oktober 2011

HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Belanda disebut dengan Mensenrecht/Menselijk Rechten, dalam bahasa Perancis disebut dengan Les Droits L’ Homme, dalam bahasa Inggris disebut dengan Human Right.
1) Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.


Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sebagai hak dasar/hak fundamental/hak abadi, HAM meliputi dan memenuhi hak-hak yang bersifat biologik dan spiritual, artinya HAM yang diperjuangkan bersama, untuk memenuhi tidak saja biological need (kebutuhan sandang, pangan, dan papan), tetapi juga pemenuhan/kebutuhan spiritual (spiritual need), antara lain terkait kebebasan beragama, berpendapat, berorganisasi, masuk/mendirikan partai, dan seterusnya.
Menurut Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., M.H HAM dapat diartikan sebagai “Hak dasar yang suci yang melekat pada setiap orang/manusia, pemberian Tuhan untuk selamanya, ketika menggunakannya tidak merugikan hak-hak dasar anggota masyarakat lainnya.
Menurut John Locke dalam teori hukum alam atau lebih dikenal dengan teori perjanjian masyarakat mengemukakan bahwa hak-hak dasar tersebut tidak dapat lepas dari manusia sejak manusia masih dalam keadaan tanpa negara (artinya ketika negara belum terbentuk). Hak-hak dasar tak dapat diambil oleh orang lain (Unaliable). Hak-hak tersebut adalah hak alamiah yang tidak dapat dicabut dari orang-perorang anggota masyarakat yang bersangkutan. Hak alamiah tersebut meliputi hak hidup, hak kebebasan dan hak memiliki sesuatu (Life, Liberty, dan Estate). Hak-hak tersebut tidak pernah lepas dari orang perorang serta tidak pernah diserahkan kepada siapapun terutama penguasa/pemerintah.
2) Sejarah Perkembangan HAM
a) Perkembangan Pemikiran HAM Secara Umum
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwasanya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 yang telah menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahnya kepada parlemen. Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Right di Inggris pada tahun 1689. Bill of Right melahirkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan The American Declaration of Independence pada tahun 1776-1789. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), kedua deklarasi tersebut telah dengan tegas mengumumkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat, bedanya pada The American Declaration of Independence berpandangan bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Sedangkan dalam The French Declaration (Deklarasi Perancis) ketentuan tentang hak lebih diperinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.
Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), The right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan munculnya The Four Freedoms dari Presiden Franklin D. Roosevelt pada tanggal 6 Januari 1941, The Four Freedoms tersebut freedom to speech (kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat), freedom to religion (kebebasan beragama), freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari ketakutan). Semua hak-hak tersebut di atas dijadikan dasar pemikiran dari rumusan HAM yang bersifat universal yaitu The Declaration of Human Rights PBB tahun 1948.
Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar/hak kodrati yang diperoleh dari Tuhan yang mana dalam suatu pemerintahan atau negara, maka pemerintah atau negara tersebut memiliki kewajiban untuk melindunginya. Perkembangan pemikiran mengenai HAM dibagi pada 4 generasi yaitu:
1. Generasi Pertama
Berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Pada generasi pertama ini berkembang pemikiran dari pemikiran Immanuel Kant dimana negara dan pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan warga negaranya kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum. Aliran pikiran yang disebut liberalisme ini dirumuskan dalam dalil “The Last Government is the best Government” artinya Pemerintahan yang paling sedikit campur tangannya terhadap warga negara adalah Pemerintahan yang baik. Dalam pandangan ini negara dianggap sebagai Nachwachterstaat atau negara penjaga malam yang memiliki ruang gerak yang sangat sempit dalam mengatur tata kehidupan masyarakat atau rakyat dari suatu negara, bukan hanya di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. Dalam konsep ini kegiatan di bidang ekonomi dikuasai oleh dalil: Laissez faire, laissez aller” yang artinya kalau manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya masing-masing maka dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh negara akan sehat.
2. Generasi Kedua
Pada masa ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada generasi kedua ini lahir dua covenant yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua Covenant tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik. Pada masa ini pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif dalam mengatur kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya. Negara dalam konsep ini dinamakan negara kesejahteraan (Welfare State) atau Social Service State (negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat atau negara modern).
3. Generasi Ketiga
Generasi ketiga ini lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.


4. Generasi Keempat
Setelah banyak dampak negatif dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Selain itu deklarasi HAM Asia telah berbicara mengenai masalah ‘kewajiban asasi’ bukan hanya ‘hak asasi’. Deklarasi tersebut juga secara positif mengukuhkan keharusan imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Beberapa masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan HAM dalam kaitan dengan pembagunan sebagai berikut:
a. Pembangunan Berdikari (self development)
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial ekonomi.
b. Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang dalam segala bentuknya, tapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence) dengan menciptakan budaya damai (culture of peace) yang menjadi tugas semua pihak baik rakyat, negara, regional maupun dunia.
c. Partisipasi Rakyat
Merupakan suatu persoalan hak asasi yang sangat mendesak untuk terus diperjuangkan baik dalam dunia politik maupun dalam persoalan publik lainnya.
d. Hak-hak Budaya
Pada beberapa masyarakat nampak tidak dihormatinya hak-hak budaya. Begitu juga adanya upaya dan kebijakan penyeragaman budaya oleh negara merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi budayanya.
(a) Hak Keadilan Sosial
Keadilan sosial tidak saja berhenti dengan naiknya pendapatan perkapita, tapi justru baru berhenti pada saat tatanan sosial yang tidak adil dijungkirbalikkan dan diganti dengan tatanan sosial yang berkeadilan.
b) Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Perkembangan pemikiran mengenai HAM di Indonesia tebagi dalam dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang).
(1) Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM pada periode melalui organisasi pergerakan pada masa tersebut. Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa. Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial. Selanjutnya, pemikira HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di stau pihak dengan Moh. Hatta dan Moh. Yamin pada pihak lin. Perdebatan HAM yang terjadi dalam berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
(2) Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
(a) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
(b) Periode 1950-1959
Pada periode 1950-1959 Indonesia melaksanakan sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” nya kebebasan. Indikatornya antara lain; Pertama, semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing. Kedua, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
(c) Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadapsistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran HAM, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.
(d) Periode 1966-1998
Terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, setelah sebelumnya didahului dengan adanya pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan situasi chaos yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pergantian tampuk pimpinan nasional ini diikuti oleh suasana pengharapan yang tinggi akan munculnya supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM di Indonesia, sehingga pada masa awal periode ini diadakan berbagai seminar tentang HAM. Dalam kenyataannya, harapan itu tidak juga terwujud, malah pada sekitar awal tahun 1970-an sampai dengan akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, tidak dilindungi bahkan tidak ditegakkan karena pemikiran elite penguasa pada masa itu menganggap bahwa HAM merupakan produk Barat dan bersifat individualis, serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia, meskipun begitu bukan berarti usaha untuk menegakkan HAM menjadi stagnan tapi pada periode ini masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademis melakukan berbagai upaya melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya dari masyarakat tersebut mulai memperoleh hasil saat menjelang periode 1990-an karena pemerintah telah mulai menindaklanjuti terhadap penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan HAM yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993.
(e) Periode 1998-sekarang
Pergantian rezim pemerintahan membawa dampak yang sangat penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada periode ini dilakukan pengkajian ulang terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Demikian pula kajian terhadap instrumen-instrumen internasional HAM ditingkatkan. Hasilnya, banyak norma-norma hukum HAM internasional diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Masa ini tampaknya menandai era diterima konsep universalisme HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini melalui dua tahap: Pertama, tahap status penentuan (prescriptive status) dimana pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, selain itu pemerintah menerima norma-norman internasional, baik melalui ratifikasi maupun institusionalisasi norma-norma HAM internasional ke dalam sistem hukum nasional. Kedua, tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behavior), tahap ini akab ditandai oleh penghormatan dan penegakan HAM secara konsisten, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat.
3) Filosofi HAM
Dalam perkembangan dari HAM tidak lepas dari perkembangan pikiran filosofis yang melatar belakanginya. Pembajhasan aspek filosofis, idiologis mapun teoritis akan membantu memahami konsepsi perlindungan HAM di berbagai negara. Pada tataran konseptual teoritik-filosofis hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga munculnya paham konstitusionalisme abad 17 dan 18, bahkan apabila boleh diulur sampai saat manusia dalam pergaulan hidupnya sadar akan hak yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika zaman purba.
Konsep mengenai HAM ini dikenal semenjak adanya teori hukum alam. Hukum alam, menurut Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral yang diakui/diyakini oleh umat manusia sendiri. Konsep hukum alam mempunyai beberapa bentuk, ide yang pada awalnya bermula dari konsep Yunani kuno. Pada intinya alam semesta diatur oleh hukum abadi yang tidak pernah berubah-ubah kalau ada perbedaan (perubahan) terutama tentang ukuran adil, selalu terkait dengan sudut pandang pendekatannya, adil menurut hukum alam atau adil menurut hukum kebiasaan. Hukum alam (natural right) salah satu muatannya adalah adanya hak-hak pemberian dari alam (natural rights) karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal. Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan dalam bentuk hak asasi sejak kelahiran dari manusia, hak hidup merupakan HAM pertama terkait dengan hal tersebut, satu hal yang pasti yakni dalam hak asasi mempunyai kedudukan/derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki/disandang dan melekat sejak saat kelahirannya, seketika itu pula sudah muncul kewajiban dari manusia lain untuk menghormatinya.
Salah satu tokoh dari hukum alam ini adalah John Locke yang berpendapat bahwa manusia dalam keadaan bebas/state of nature, dalam hukum alam adalah bebas dan sederajat, tetapi mempunyai hak-hak alamiah yang tidak dapat diserahkan kepada kelompok masyarakat lainnya, kecuali lewat perjanjian masyarakat, ketika masuk menjadi anggota masyarakat, manusia hanya menyerahkan hak-haknya tertentu demi keamanan dan kepentingan bersama. Masing-masing individu memiliki hak prerogatif fundamental yang didapat dari alam. Hak tersebut merupakan bagian tak terpisahkan sebagai bagian utuh dari kepribadiannya sebagai manusia.
a. Instrumen Internasional dan Nasional HAM
Ketentuan mengenai HAM internasional secara universal diawali dengan Deklarasi Universal HAM yang dilakukan oleh PBB Pada Tahun 1948, yang menurut Rene Cassin yakni salah seorang pencetus Deklarasi itu mengemukakan bahwa Deklarasi itu berdiri di atas empat tonggak utama. Yang pertama adalah hak-hak pribadi (hak persamaan; hak hidup, hak kebebasan, keamanan, dan seterusnya: Pasal 3-11). Setelah itu terdapat hak-hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial di mana ia ikut serta (hak kerahasiaan kehidupan keluarga dan hak untuk kawin; kebebasan bergerak di dalam atau di luar negara nasional; untuk memiliki kewarganegaraan; untuk mencari tempat suaka dalam keadaan adanya penindasan; hak-hak untuk mempunyai hak milik dan untuk melaksanakan agama: Pasal 12-17). Kelompok ketiga ialah kebebasan-kebebasan sipil dan hak-hak politik yang dilaksanakan untuk memberikan saham bagi pembentukan instansi-instansi pemerintahan atau ikut serta dalam proses pembuatan keputusan (kebebasan berkesadaran, berpikir dan menyatakan pendapat; kebebasan berserikat dan berkumpul; hak memilih dan dipilih; hak untuk menghubungi pemerintah dan badan-badan pemerintahan umum: Pasal 18-21). Kategori keempat ialah tentang hak-hak yang dilaksanakan dalam bidang ekonomi dan sosial.
Beberapa instrumen Internasional mengenai HAM yang telah dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bertarap Regional
1. Convention Relative to The Rights of Aliens (1902). OAS Treaty Series, Number 32. Does not contain provisions regarding entry into force.
2. International Labour Organization (ILO) Convention (Number 11) Concerning the Rights of Association and Combination of Agriculture Workers (1921). United Nations, Treaty Series, Vol. 38, p. 153-159 (594). Entered into force on 11 May 1923.
3. United Nations Education, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) Convention Againts Discrimination in Education (1960), United Nations, Treaty Series, Vol. 429, p 93. Entered into force on 22 May 1962.
b. Bertarap Internasional
1. Internasional Covenant on Economic, Social and Culture Rights (1966) Entered into force on 3 January 1976.
2. Internasional Covenant on Civil and Political Rights (1966) Entered into force on 23 March 1976.
3. Declaration Regarding Article 41 of the International Covenant on Civil and Political Rights (Concerning the Consider the Human Rights Committee to Receive and Consider Communication by One State Party Againts Another). Entered into force on 23 March 1976.
4. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (1966). Entered into force on 23 March 1976.
5. Second Optional Protocol to the International Covenant Civil and Political Rights Aiming on the Abolition of the Death Penalty not yet into force 30 June 1990.
Ketentuan HAM nasional baik produk dari Indonesia sendiri maupun yang berasal dari instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang dianggap sebagai Piagam HAM Nasional.
2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat.
4. Undang-undang Nomor 11 tahun 1998 tentang Amandemen terhadap Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Hubungan Perburuhan.
5. Undang-undang Nomor 26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
6. Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
7. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Diundangkan pada tanggal 23 September 1999.
8. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 104 undang-undang 39 tahun 1999, dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
9. Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai tindak lanjut dari TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, TAP MPR RI Nomor V/MPR/2000, serta pasal 47 ayat (2). Diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004.
Beberapa diantara instrumen hukum Internasional yang telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia sebagai berikut:
1. International Convention on the Suppresion and Punishment of the Crime of Apartheid (1973).
2. Convention on the Elimination All Forms of Discrimination Againts Woman. Telah disahkan dengan undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
3. Convention Againts Torture and other cruel, inhuman or regarding treatment or punishment. Telah disahkan dengan undang-undang nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan mertabat manusia)
4. ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment. Telah disahkan dengan undang-undang nomor 20 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
5. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965). Telah disahkan dengan undang-undang nomor 29 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965.

Kategori pelanggaran HAM berat: kejahatan genoside dan kejahatan kemanusiaan.
a. kejahatan genoside
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
1) membunuh anggota kelompok;
Yang dimaksud dengan anggota kelompok adalah seorang atau lebih anggota kelompok.
2) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
3) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau
5) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
b. kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1) pembunuhan;
adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2) pemusnahan;
yaitu dengan sengaja membuat kondisi kehidupan suatu kelompok penduduk terhenti antara lain dengan memutus akses pangan dan obat-obatan yang merupakan kebutuhan vital yang dapat membawa kehancuran kehidupan kelompok tersebut.
3) perbudakan;
adalah tindakan menguasai seseorang sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut yang khususnya terdiri dari wanita dan anak-anak menjadi tidak berarti dan diperdagangkan sebagai budak.
4) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah di mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari oleh alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
5) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) penyiksaan;
yaitu tindakan dengan sengaja menyakiti dan menimbulkan penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang ditahan di bawah penguasaan si pelaku. Dikecualikan terhadap mereka yang melaksanakan sanksi pidana secara sah serta tidak melakukan penyiksaan yang dapat menimbulkan penderitaan.
7) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang setara;
8) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9) penghilangan orang secara paksa;
yaitu tindakan penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-orang oleh pelaku dengan kewenangan dukungan, atau persetujuan diam-diam dari suatu negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan tersebut dengan maksud memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk jangka waktu tertentu.
10) kejahatan apartheid.
yaitu perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam hubungan dengan suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi secara sistematik terhadap suatu kelompok ras oleh ras lain dengan maksud mempertahankan rezim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar